INSTAGRAM

Sabtu, 18 Juni 2011

BUNG HATTA DALAM BINGKAI SEJARAH, SOSOK TELADAN PEMIMPIN BANGSA

oleh : Linda Hevira

 ”.......
Bumi tak pernah menyudahi membuka tangan bagi perjuanganmu
meski sejarah bagai debu yang melekat di sayap burung
dan engkau menjadikan kemerdekaan negeri begitu berarti
bagi generasi kami yang tengah belajar menulis dan membaca

Engkau adalah buku, berbab-bab dalam zaman yang tak pernah habis.
            cahaya siang yang selalu ada di tengah malam
            seperti air yang mengalir dari bukit yang tinggi,
            engkau tak ingin menjadi awan di langit,
            engkau justru turun ke lembah yang paling rendah, 
menyalami rumput-rumput yang tergusur dari kehidupan duniawi
            ..........”
           
            Membaca dua bait puisi karangan Endang Supriadi , memberikan makna yang sangat dalam bagi kita semua. Di negara yang miskin teladan kepemimpinan ini sepertinya tak sanggup lagi untuk berharap hadirnya pemimpin-pemimpin baru yang “berani” memperjuangkan hati nurani.
Di tengah tantangan zaman dan rutinitas kehidupan yang semakin berat serta  munculnya krisis multidimensi  dimana-mana, pengenalan terhadap sosok Bung Hatta baik melalui "buku, puisi, dan lagu" adalah siraman air sejuk yang mendamaikan kegersangan jiwa kita akan kerinduan terhadap sosok pemimpin idola.
109 tahun yang lalu, pada tanggal 12 Agustus 1902 di Aur Tajungkang Tengah Sawah Bukittinggi, Sumatera Barat, lahirlah seorang Putra Minang, yang berasal dari sebuah keluarga, dimana ayahnya turunan ulama dan ibu turunan saudagar. Putra ini  diberi nama Mohammad Hatta. Dari ibunya, Hatta memiliki enam saudara perempuan. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya. Hatta kecil sudah menjadi yatim, ayahnya meninggal pada saat beliau berusia delapan bulan. Kepribadiannya yang bersinar telah nampak sejak dia kecil. Kedisiplinannya terhadap waktu menjadi penanda bagi masyarakat sekitarnya bahwa “Orang Bukittinggi tidak membutuhkan arloji, cukup melihat kapan Hatta pergi sekolah, pulang sekolah dan pergi mengaji”.
Sosok Bung Hatta adalah seorang yang taat beragama, disiplin dan tegas, tetapi tetap menghargai pendapat orang lain. Sejak duduk di MULO di kota Padang, ia telah tertarik pada pergerakan. Sejak tahun 1916, timbul perkumpulan-perkumpulan pemuda seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa. dan Jong Ambon. Hatta masuk ke perkumpulan Jong Sumatranen Bond.
Beliau giat dalam pembentukan karakter dan mendidik kader-kader untuk disiplin terhadap waktu, mengatur keuangan dan pekerjaan. Ketika beliau memperjuangkan nasib rakyat Indonesia, walaupun berkali-kali dibuang dan diasingkan, para pengganti beliau tetap bisa melanjutkan perjuangan.
Bung Hatta dikenal sebagai sosok yang rajin membaca buku apa saja, sehingga ilmunya tidak terbatas kepada ekonomi, sosial dan politik saja, tetapi juga banyak mempunyai buku sastra. Tak heran jika hiburannya adalah menenggelamkan diri berjam-jam di antara rak-rak buku. Koleksi bukunya amat banyak, dan siapapun yang meminjam harus meletakkan kembali ke tempat semula.
Selain membaca, beliau juga menjadi penulis dan memberikan pidato untuk membangkitkan semangat rakyat pada saat berkunjung ke daerah-daerah di wilayah Indonesia, bahkan berpidato mewakili Indonesia di luar negri. Ketegasan beliau juga dapat kita ketahui saat berpidato di depan rakyat sehingga membuat merah muka tentara Jepang.
Sebagai seorang penulis banyak buku-buku beliau yang telah diterbitkan. Tidak hanya di Indonesia, bahkan pemikiran-pemikiran beliau pada saat berada 11 tahun di Belanda diterbitkan oleh penerbit disana dan mendapatkan honor yang banyak pada waktu itu.  Dengan uang itu beliau beserta keluarga dapat naik haji dan menolak untuk memakai uang pemerintah. Alasannya karena beliau ingin ke Mekkah sebagai rakyat biasa sama seperti orang Islam lainnya.
Di zaman penjajahan Belanda, Bung Hatta berkali-kali mengalami penangkapan dan pembuangan oleh pemerintah Belanda, antara lain ke Tanah Merah, Digul, Banda Neira, kemudian ke Sukabumi, sebelum Belanda menyerah kepada Jepang tahun 1942.
Pada dasarnya penangkapan dan pembuangan Bung Hatta disebabkan oleh penolakannya atas bujukan Belanda untuk bekerja sama walaupun digaji dengan uang yang sangat besar.
Beliau juga adalah sosok yang tidak membedakan orang dalam disiplin waktu. Suatu saat seorang duta besar ingin bertemu dengan beliau. Namun pada hari dan waktu yang ditentukan, duta besar tersebut baru datang setelah ditunggu lebih dari 30 menit. Beliau tidak ingin lagi menemuinya dan duta besar itupun menjadi malu karena keterlambatannya
Bung Hatta adalah seorang sosok pemimpin yang semua ucapannya sesuai dengan tindakannya. Di saat beliau menjabat sebagai seorang Wakil Presiden, beliau tetap seorang Demokrat, teguh dan konsekuen dalam pemikirannya, serta jujur dan tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk memperkaya diri. Kunjungan beliau hampir ke seluruh wilayah Indonesia tidak saja di kota-kota besar, namun beliau juga sampai ke tempat terpencil dan pedalaman, baik pada saat beliau menjadi Wakil Presiden ataupun tidak (karena mengundurkan diri sebab tidak sepaham dengan Bung Karno).
Suatu kisah yang perlu kita teladani sebagai putra bangsa adalah saat beliau diajak ke Digul untuk melihat kembali tempat pembuangan beliau. Beliau menolak untuk menerima uang saku dan meminta untuk disimpan dulu, karena uang tersebut adalah uang rakyat. Sampai disana, beliau melihat kondisi rakyat tersebut lebih menyedihkan dibanding waktu dulu. Banyak rakyat yang sakit karena daerah tersebut terpencil dan  susah dilewati. Karena harus melintasi sungai yang dihuni oleh buaya-buaya buas, terkadang bantuan obat-obatan tidak sampai kesana. Saat itu beliau berfikir untuk menyerahkan uang saku tersebut kepada penduduk disana sambil berkata : ”Ini adalah uang rakyat, sekarang sudah kembali ke tangan rakyat”.
Ketika menjadi seorang pengajar di beberapa Universitas seperti UGM, UI, UNPAD dan UNHAS, beliau menolak memakai fasilitas yang berbeda dengan dosen lainnya. Beliau juga pernah mengajar di Hawai selama 6 bulan, dan menguasai Bahasa Inggris, Belanda , Jerman dan Prancis.
Bung Hatta juga dikenal sebagai seorang pemimpin sejati yang pikirannya selalu berorientasi pada rakyat. Banyak sekali tulisannya tentang perjuangan dan cita-cita Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur. Menurut beliau ”Rakyat adalah badan dan jiwa bangsa, dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendah derajat kita. Dengan rakyat kita akan naik dan dengan rakyat kita turun. Dan demokrasi dapat berjalan kalau diiringi dengan rasa tanggung jawab”.
 Sebagai bangsa Indonesa yang menghargai jasa-jasa pahlawannya dalam mewujudkan Indonesai Merdeka, sudah sewajarnya bagi kita semua untuk membaca riwayat dan kisah perjuangan mereka. Tidak mudah Merdeka dari ratusan tahun dijajah secara ”fisik, mental maupun akal”. Kemerdekaan ini adaah Rahmat Tuhan yang Maha Kuasa. Usia kemerdekaan yang  ke-66 tahun ini, janganlah kita dustakan dan sia-siakan. Bung Hatta menginginkan rakyat Indonesia menjadi cerdas serta berperan di Bidang Ekonomi. Sebagai seorang Ekonom beliau mengatakan bahwa Koperasi lebih cocok untuk kemajuan perekonomian bangsa Indonesia.
            Selain itu hasil pemikiran beliau dapat kita lihat dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada pasal 1 ayat 2, pasal 27 ayat 2, pasal 28, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34. Cita-cita beliau ingin menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, seharusnyalah juga dipunyai oleh setiap pemimpin di negeri ini, dari tingkat paling rendah sampai yang paling tinggi. Pancasila yang memuat nilai-nilai kegamaan, kemanusiaan, persatuan bangsa, kerakyatan dan musyawarah serta berkeadilan sosial harus kita terapkan.
            Sebagai penghargaan terhadap jasa beliau, pada tanggal 15 Agustus 1972,  Presiden Soeharto menyampaikan anugerah negara berupa Tanda Kehormatan tertinggi kepada Bung Hatta yaitu "Bintang Republik Indonesia Kelas I" pada suatu upacara kenegaraan di Istana Negara
Pada tanggal 10 Februari 1975, beliau membuat surat wasiat yang membuat kita terharu yang berisi :
“Apabila saya meninggal dunia, saya ingin dikuburkan di Jakarta, tempat diproklamirkan Indonesia Merdeka. Saya tidak ingin dikubur di Makam Pahlawan (Kalibata). Saya hanya ingin dikuburkan di tempat kuburan rakyat biasa, yang nasibnya saya perjuangkan seumur hidup saya”.
Sang Proklamator menghembuskan nafas terakhir pada tanggal 14 Maret 1980. Beliau meninggal di Jakarta dalam usia 77 tahun. Sesuai pesan beliau akhirnya beliau dikuburkan keesokan harinya di Tempat Pemakaman Umum, Tanah Kusir, Jakarta. Seiring dengan kepergian beliau sayup-sayup kita teringat tentang sepenggal lagu Iwan Fals :
 ”Hujan air mata dari pelosok negri
Saat melepas engkau pergi
Berjuta kepala tertunduk haru
Terlintas nama seorang sahabat
Yang tak lepas dari namamu…
Terbayang baktimu, terbayang jasamu
Terbayang jelas… jiwa sederhanamu
Bernisan bangga, berkapal doa .
Dari kami yang merindukan orang
Sepertimu”
Bung Hatta, satu abad telah berlalu sejak kepergianmu. Namun bangsa ini masih saja menghasilkan generasi yang kerdil. Setiap hari negara ini selalu memberitakan dan mempertontonkan citra pemimpin yang bejad, pemimpin yang lahirnya dielukan tapi berakhir dengan keserakahan, ketidakjujuran, kediktatoran dan ketidaktegasan. Namun Engkau beda, sosok pemimpin yang langka , tanpa cela. Hampir tidak ada ruang sedikitpun untuk mencari kekuranganmu. Mungkin saja Engkau sedang menangis dalam kemarahan menyaksikan bangsa ini. Pribadi bangsa yang ramah, gotong royong dan berbudaya, sudah mulai pupus sedikit demi sedikit. Serangan penjajah dalam bentuk lain telah masuk mengacak-acak negeri yang  sudah tergadai ini. Bukannya maju dalam hal pemikiran dan perbuatan, tapi malah mundur dalam peradaban. Ketika ada yang berjuang menegakkan keadilan, segera saja dia lenyap tak berbekas. Ketika banyak rakyat yang menjerit dan menderita dalam kemiskinan dan ketidakadilan, sementara itu  pemimpinnya masih sibuk saja beretorika. Ironis memang.
Sekarang Sang Proklamator telah tiada. Sang negarawan yang merakyat, sulit dicari tandingannya. Bung Hatta, Indonesia bangga mempunyai seorang pemimpin yang tegas, jujur, sederhana dan bijaksana sepertimu. Engkau merupakan sosok teladan dan inspirasi bagi rakyat Indonesia. Engkau tidak hanya kaya dengan ilmu, tapi juga kaya dengan hati dan berani dengan iman yang kuat. Kami rindu dengan sosok pemimpin yang mempunyai kepribadian  yang amanah dan fatanah sepertimu.
Kemerdekaan memang sudah kita capai, namun perjuangan tidak akan pernah selesai. Kami juga ingin mengisi setiap ”Nafas” Arti kemerdekaan yang telah engkau perjuangkan. Terkadang kami lupa, bahwa bangsa ini lahir dari penderitaan dan darah, beratus tahun dijajah, sehingga terlena di bawah panji kebesaran pahlawannya. Walau banyak generasi muda yang lahir dan berprestasi Internasional sepertimu, kami berharap semoga saja mereka juga berani memperjuangkan nasib bangsanya sendiri, dan tetap menjunjung harga diri. Meski di negri ini, kita masih punya sejuta pemuda dan pemimpin  yang mempunyai hati nurani. Semoga saja antara pemimpin dan rakyatnya merupakan suatu barisan yang dapat bekerja sama dan sama-sama bekerja, dalam membiasakan yang benar dan tidak lagi membenarkan kebiasaan.
Kita semua bisa bersatu dalam membentuk generasi penerus sekaligus pelurus bangsa, menjadi intelektual yang profesional dan memiliki emosional yang handal. Suatu peran yang amat mulia jika kita berada di dalamnya. SEMOGA.