Di Indonesia motivator lahir bak cendawan tumbuh, ada yang sudah matang sebagai pemain lama tapi ada juga pemain baru yang begitu cepat majunya bahkan masih muda-muda.
Ada yang berbekal sekolah ini itu, mengambil course di luar negri dan mendapatkan sertifikat tertentu, bisa jadi di bidang psikologi, bisnis, komputer,pendidikan, management, leadership dsb.
Latar belakangnyapun berbeda-beda, ada yang sukses dalam membuat sebuah karya tertentu, misal karena buku yang ditulisnya selalu best seller, karena bisnis onlinenya sudah menggurita, ada juga motivator yang berasal dari orang miskin yang berhasil menjadi pengusaha kaya, penceramah yang cara penyampaiannya mengena dan lebih masuk dengan pendekatan agama.
Mereka datang dengan menawarkan metode2 yang berbeda tapi pada hakekatnya adalah sama.
Ada yang mengusung metode Hypnotherapy, NLP, Mind Mapping, Tombol Motivasi, Kotak Ajaib, ESQ, MESSI,Soul Therapy, Time Line Therapy, Pendekatan agama, budaya, seni dsb.
Tak dipungkiri Indonesia memang masih sangat membutuhkan motivator2 tersebut, karena di tengah peliknya kehidupan, buntunya pikiran dan sempitnya lapangan pekerjaan, memang kehadiran sang motivator ibarat datangnya angin segar dan penghilang dahaga di tengah padang gersang rutinitas kehidupan.
Namun permasalahannya adalah tidak semua orang bisa mendapatkan pencerahan tersebut, mengingat rakyat Indonesia sebagian besar lebih banyak berada pada level menengah ke bawah.
Bagaimana mungkin untuk satu pelatihan saja sang motivator mematok harga perjam sampai 50 juta ke atas. Tapi ini tentu saja audiensnya dari kalangan tertentu saja.
Jika peserta yang datang seminar berasal dari perorangan, maka kadang panitia bisa mematok harga pelatihan perkepala sampai 2,5 juta bahkan lebih.
Bagi masyarakat menengah mereka lebih baik mengalihkan uangnya untuk modal sebuah usaha, kan lebih jelas hasilnya. Daripada mereka terpesona oleh kharisma dan ucapan yang bersemangat dari seorang motivator sedangkan mereka bisa mendapatkan motivasi gratis dari radio, televisi, internet ataupun orang2 sekitarnya yang sudah sukses.
Pada dasarnya, Sang motivator tidak akan bisa sukses dan bekerja sendiri, ia tetap membutuhkan tim manajemen layaknya seorang artis.
Motivator hanya bertugas memberikan pelatihan, mengasah ketrampilan public speaking, kemudian memperbanyak bacaan dan selalu mencatat serta menganalisa setiap apapun yang mempengaruhi tingkah laku manusia. Meramu semua informasi yang ia punyai dan dapatkan, sehingga menghasilkan sebuah konsep pelatihan dan slogan-slogan baru yang lebih memikat. Mengumpulkan semua kisah2 selama pelatihan dan mengemasnya menjadi sebuah buku baru. Selanjutnya bagi yang tidak bisa mengikuti pelatihannya secara langsung maka para penggemar bisa juga menikmati buku yang diterbitkan oleh sang motivator.
Sementara itu tim manajemen bekerja mencari klien, mengajukan proposal, membuat brosur, memikirkan lay out dan mengemasnya dengan sangat menarik.
Memperbanyak link dan kerjasama dengan berbagai pihak serta instansi2 yang membutuhkan jasa motivator, serta mengaktifkan public relations dan press release.Membuat website dan membuka kesempatan interaktif secara on line. Bahkan memberikan follow up pelatihan dengan harga spesial.
Brand Image seorang Motivator sudah mirip barang dagangan yang bisa dijual dengan harga mahal dan juga merupakan icon suatu pelatihan tertentu.
Terlepas dari itu semua, permasalahan yang sering muncul adalah bahwa audiens yang hadir saat motivator beraksi, semuanya mungkin mengangguk tanda setuju bahkan ada yang mempunyai keinginan untuk segera berubah dan berbuat. Tapi kenyataannya setelah satu jam berlalu , begitu sang motivator "bertarif" pulang, maka semangat untuk berubahpun kembali hilang.
Pada dasarnya apapun metodenya, siapapun motivatornya adalah sama.
Harga dimulai dari Rp 500.000 sampai lebih 50 jutapun, cara penyampaian materi oleh sang motivator bisa jadi sama, bahkan kadang yang lebih murahpun lebih berbobot daripada si motivator bertarif.
Kembali lagi, kalau motivator diibaratkan barang, maka memang kemasan dan pengelolaannyalah yang berbeda.
misal: nasi goreng yang dijual di kaki lima dengan porsi banyak harganya Rp 15.000,-
sedangkan jika nasi goreng yang sama, dengan kemasan menarik dan diberi label lalu dititipkan di toko kue, maka untuk porsi yang sama kita harus membeli Rp 20.000,-
dan kalau kita masuk ke sebuah restoran atau cafe dengan sajian yang menarik dan suasana yang nyaman maka harga nasi goreng tadi sudah menjadi Rp.25.000,- bahkan lebih.
Yach...apapun makanannya minumnya teh botol sosro..eh...salah
Apapun usahanya, kemasan dan pelayananlah kunci suksesnya.
1 komentar:
posted by :
Joni Zulfiandi
NPM : 0810076510017
Untuk pengajuan Tugas Etika Profesi
AKTAN Boekittinggi
2009
Memang benar,apapun usahanya, kemasan dan pelayananlah kunci suksesnya
Namun selain itu ada beberapaaspek yang harus diperhatikan diantaranya :
1. Aspek ekonomis.
Aspek ini mencakup analisis pasar, yaitu mengkaji sejauh mana tingkat keuntungan yang diperoleh, dengan daya serap pasar yang ada dan kemampuan memiliki modal untuk menjalankan operasional bisnis.
karena setiap usaha pasti harus memiliki modal,meskipun sebagai seorang motivator. Meskipun kemasan dan pelayanannya luar biasa, tetapi kalau dalam perhitungannya tidak mampu diserap pasar ya buat apa ? Karena itu, Anda harus paham betul, bagaimana kreadaan pasar yg akan dituju.
2. Aspek teknis.
Aspek ini sangat penting untuk mengukur kemampuan untuk menjalankan bisnis/usaha dengan baik. Apakah dengan modal yang ada, sudah mampu menarik simpati pasar ? bagaimana dengan kemampuan sumber daya manusia anda ? apakah semua kekuatan yang dimiliki mampu memberikan nilai tambah yang lebih baik kepada konsumen dibandingkan dengan usaha-usaha sejenis lainnya ? Suatu rencana bisnis yang baik, akan memberikan peluang yang lebih baik, sekaligis meminimalisasi kemungkinan kegagalan bisnis.
Posting Komentar